Siang begitu terik di sudut pertokoan pusat kota, saya melangkah sambil menenteng berkas menyusuri pertokoan, sambil sesekali mata saya melirik nama dan nomor alamat sambil mencocokkan di berkas yang saya tenteng. Nggak terasa, tenggorokan begitu pahit dan kering. Mata normal saya sekilas menyapu sebuah warung yang terlihat ramai, beberapa pengunjung dengan lahap menikmati hidangan yang tersedia. Saya masih teringat jelas, itu adalah salah satu hari di bulan Ramadhan tahun yang lalu, benar panjenengan tidak salah baca.
Hari ini saya ngobrol dengan istri saya tentang sebuah status temannya di Facebook yang mengomentari (pada akhirnya memang menjadi eker-ekeran tak berujung) twit dari Menteri Agama RI Pak Lukman H. Syaifudin yaitu :
Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa
dikutip dari :http://news.detik.com/berita/2937586/ramai-pro-kontra-warung-makan-tutup-saat-ramadan-ini-kicauan-menag
Ditambah pernyataan Pak Wapres JK tentang pengaturan speaker Masjid di Bulan Ramadhan.
JK mengatakan bahwa penerapan metode mengaji lewat kaset tidak efektif dan efisien, malah mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Ini ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam membuat banyaknya masjid dalam jarak dekat. Suara masjid menjadi tumpang tindih karena dekatnya jarak.
dikutip dari :http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617231058-20-60720/jk-tak-usah-tengah-malam-bunyikan-speaker-kaset-pengajian/
Entah kenapa twit dan pernyataan tersebut melebar menjadi “Mayoritas agar menghormati minoritas”
Sekilas isi twit dan pernyataannya memang memancing para pendekar eker-ekeran di dunia maya turun berlaga.
Kita disclaimer dulu: Saya harap panjenengan paham siapa yang dimaksud dengan mayoritas, siapa yang menjadi minoritas disini. Yang saya pahami adalah ini masalah sensitif, masalah muslim dan non muslim. Makna lebih konkrit adalah Toleransi antar umat beragama, mungkin terjadi diskusi luas, pro dan kontra maksud penyikapan dari toleransi menurut pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dahulu.
Saya tak hendak ikut-ikutan berlaga eker-ekeran tentang makna toleransi yakni harusnya mayoritas begini minoritas begitu, bila agama ini sudah diperlakukan begini, agama itu berhak begitu. Sudah begitu banyak yang bahas.
Tapi saya punya pemikiran yang seperti biasanya yaitu konyol, koplak dan tentu saja tanpa disertai data konkrit, bagaimana kalau yang disebutkan minoritas dari tafsir twit pak mentri (halah twitter saja pake tafsir) itu sebenarnya adalah pihak muslim yang memiliki kewajiban beribadah puasa sendiri? Pernahkah ada riset bahwa pada setiap Bulan Ramadhan kenapa warung-warung tetap buka?
Karena setelah saya amati pengunjungnya tetap melimpah, tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Hukum dasar permintaan dan penawaran. Bahkan meskipun pemiliknya juga (mengaku) muslim. Sampai saat ini yang saya temui hanya satu rumah makan yang tutup satu bulan penuh di bulan puasa ini yaitu RM Padang “Surya Indah” di Kota Maumere (tabik Pak Haji).
Jangan-jangan mayoritas yang dimaksud adalah pihak-pihak yang tidak berpuasa yang berdasarkan hitung-hitungan, bisa-bisa jumlahnya lebih banyak dibanding yang berpuasa (semoga saya salah). Sedangkan minoritas yang dimaksud bukanlah agama lain, tapi yang melakukan ibadah puasa. Ini mungkin yang dimaksud Toleransi Antar Umat Seagama.
Pernah saya menemukan sebuah fenomena, suatu siang di sebuah Kota Kabupaten, mendekati hari lebaran tiba, seperti biasa semua toko dipadati pengunjung untuk berbelanja mempersiapkan kemeriahan Hari Raya Idul Fitri, ternyata setelah semua sibuk berbelanja, dalam perjalanan pulang itu, kebanyakan ramai singgah di sepanjang jalan di pinggiran kota yang menyediakan jualan es degan dan semacamnya. Terbuka dan apa adanya. Njuk, apa bedanya arti ibadah puasa bagi umat mayoritas ini?
Ingatan saya kembali ke sudut pertokoan kota di tahun yang lalu.
Pada saat tenggorokan saya kering, bibir pecah-pecah dan mata berkunang-kunang (halah), pandangan saya beralih ke samping warung dimana terdapat kios es yang diwadahi dengan kotak kaca bening seperti akuarium dengan tumpukan es batu dan air berwarna serta aroma orange.
Segarnya es langsung terasa dari tempat saya berdiri bila si penjual memutar kran disertai aliran air segar ke dalam gelas. Gelas diserahkan ke pembeli yang dengan serta merta menghabiskan dalam sekali tenggak.
Di tempat asal saya, es orange tadi bisa disebut : “Es Gronjong”
Selamat berpuasa…