Sesudah post ini, saya tergoda untuk kembali membuat postingan blog yang berbau politik, meskipun sudah agak telat tapi cukup lumayan masih anget apalagi sekarang memasuki babak adu pinalti dengan wasit Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemilu dan Dunia Maya untuk masa sekarang ini sudah benar-benar nggak dapat dipisahkan, hiruk pikuk dunia maya bahkan lebih menghiruk dan mempikuk (embuhlah) dari dunia nyata. Dunia Maya, iya benar tinggal pilih dunianya Luna Maya atau Maya Rumantir (dari pemilihan namanya saja bisa kelihatan model gimana penulis blog ini ).
Pilpres alias Pemilihan Presiden yang baru lalu yang ramainya benar benar ngalahin ramenya Pileg. Fenomena Facebook dan Twitter yang saya ikuti, ramainya ngalah-ngalahna ramainya pasar tumpah di pagi hari. Saling sindir, saling serang antar tim sukses menular ke simpatisannya yang saya yakin nggak ada sangkut pautnya dengan calon yang berlaga. Nggak peduli itu positif campaign, negatif campaign, netral campaign maupun black campaign yang istilah-istilah itu baru saya ketahui di tengah hiruk-pikuk ini.
Contohnya adalah : Seorang teman melontarkan status, link, komentar seorang tokoh. Seorang teman mengcounter, bantah berbantah tak berujung. Bahkan bisa jadi yang asal muasalnya seorang sahabat di dunia nyata, menjadi musuh saat itu juga akibat status,komentar yang mungkin nggak sesuai.Saya melihat beberapa teman yang sudah jengah tingkat provinsi, mulai membersihkan friendlist yang dianggap sudah keterlaluan.
Sepanjang hari lini masa Facebook saya yang kebanyakan friendlistnya adalah teman kantor, teman sekolah dan twitter saya yang followernya hanya 4 biji hiruk pikuk nggak habis-habisnya bahkan istilah perang twit alias twitwar (perang ki ya pakai pisau atau senjata AK 47 atau adu keris, perang kok pakai tits) hampir tiap hari bahkan 24 jam sehari.
Gimana dengan saya? Sebagai seorang buruh yang dikon ngalor ya ngalor dikon ngidul ya ngidul di Kemenkeu, saya menyadari sejak awal bahwa sikap kita harus netral dan facebook, twitter dan sejenisnya merupakan ranah publik yang seharusnya kita sterilkan dari sikap dan tingkah laku seperti itu. Hal ini pun ditegaskan dalam SE-22/SJ/2014 dimana diantaranya :
dilarang memberikan dukungan yang diberikan secara langsung, tidak langsung termasuk pemberian dukungan di dunia maya (lha kan si Maya disebutkan lagi),meliputi pemasangan status pada media social dan sejenisnya, menjelek-jelekkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu pada media social dan sejenisnya dan lain sebagainya (kalau yang satu ini saya nggak mudeng babar blas), terlebih menggunakan fasilitas negara.
Saya sampai heran, kok pada ngotot itu yang dikejar apaan, wong kalah menang calon pujaan hatinya, besoknya semua juga masih cari makan sendiri, lha dalah kecuali kalau itu memang tim sukses, relawan, karena memang mereka dibayar untuk itu, untuk eker-ekeran. Saya hanya menduga bahwa itu semua untuk memuaskan syahwat untuk beradu argumen, kepinteran ngomong eh ngetik, kalau lawannya terpojok bukan main senangnya.
Saling memojokkan, saling menyindir teman/sahabat sendiri apalagi sama yang belum dikenal di grup-grup yang menjamur di facebook dan forum-forum, demi kepuasan sesaat. Mungkin hobby kita eker-ekeran ini memang sudah diwariskan mbah buyut kita sejak jaman penjajahan alias memang sudah ditanamkan bahwa kebiasaan eker-ekeran harus diwariskan secara turun temurun dan berkesinambungan diantara kita.
Kadang saya tergoda juga untuk ikut terjun ke medan laga per-bantahan apabila ada yang menurut saya sudah keterlaluan dan nggak sesuai dengan hati nurani saya. Apa daya niat turun ke medan perbantahan sirna, akhirnya tinggal status status nggak jelas seperti dibawah ini :
Lihat saja, status-status itu sepi penggemar, mungkin kalau saya posting status yang kontroversial menyangkut salah satu capres yang berlaga, saya yakin status saya nggak akan sesepi itu.
)* eker-ekeran=debat kusir tak berujung yang cenderung tidak ada gunanya
Nomor SE-nya 22, seperti mengarah ke calon tertentu 🙂