Elegi Sang Penagih Utang

Siang yang terik di Kota Makassar bagaikan memecahkan batok kepala. Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu sebuah perusahaan ekspedisi, dipanggilkan kolega yang mau saya temui untuk sebuah urusan yang tentu saja ada kaitannya dengan masalah pajak perusahaan tersebut. Sambil mengamati hiruk yang mempikuk petugas ekspedisi membongkar dan menyiapkan barang untuk diantarkan ke pelanggannya.

Perhatian saya teralihkan dengan segera, ketika sebuah langkah tergesa mendekati meja customer service, dan meminta bertemu dengan seseorang. Seorang yang juga korban panasnya Kota Makassar seperti saya, terlihat dari tampilannya yang kucel. Tanggapan yang sama dengan yang saya terima, disuruh menunggu.

Hingga akhirnya bapak ini duduk di sebelah kursi saya dengan dibatasi oleh meja kecil. Kami tidak saling mengenal dan tentu saja keadaan  hening dalam dunia fikiran masing-masing karena saya juga kurang bisa membuka sebuah obrolan basa-basi. Hingga akhirnya Mbak Rceptionis datang dengan logat Makassarnya yang kental untuk bapak tersebut dengan sebuah jawaban datar.

“Tidak ada pak”

Respon bapak tersebut terhadap perkataan Mbak Receptionist membuat saya menegakkan kepala dari sebuah situs yang saya baca di hp.

“Mbak, tolonglah ini masalah penting, saya sudah hapal kalau sebenarnya bapak itu ada (sambil menyebut sebuah nama). Saya tahu persis bahwa Bapak itu sebenarnya ada”

“Tadi memang ada pak tetapi sudah pergi tidak lewat sini, lewat samping kan bisa”

“Mbak saya ini sudah lama dalam bidang ini, saya tahu banget bahwa bapak itu ada. saya hanya mau ketemu sebentar saja. tolonglah”

Sepertinya Mbaknya kewalahan dengan berondongan tegas bapa itu. Mbak itu akhirnya menjawab lirih sambil kembali masuk ke dalam

“Iya Pak”

Tiba-tiba saja bapak yang duduk di sebelah  saya ini menoleh ke saya yang dengan bodohnya sedang memasang wajah heran dan ingin tahu. Bak kelinci yang sedang ketahuan mencuri, saya berusaha menampilkan senyuman meski hambar.

Bapak itu seperti tahu apa yang ada di benak saya.

“Mas, saya itu sudah puluhan tahun bekerja di bidang debt collector ini, jadi saya sudah sangat hapal perilaku-perilaku kayak gini. Saya hanya pengin ketemu sebentar saja, maunya dia apa”

“Saya sebenarnya sangat kasihan dengan mereka yang di depan ini macam, satpam receptionis harus berbohong demi dia dan lainnya. Apalagi ini bulan puasa, mereka beraninya sembunyi dengan mengumpankan pegawai-pegawai front office, begini”

Saya belum sempat berkata-apa apa, obrolan kami terputus ketika pegawai yang mau saya temui sudah muncul dari ruang dalam dan kita menuju ruangan lainnya. Saya tidak tahu lagi bagaimana nasib bapak tersebut.

Tiba-tiba saya teringat dengan kejadian pagi tadi. Saya sampai di kubikel ruangan kantor pagi pagi, setelah saling berbasa basi dengan teman sebelah kubikel, belum sempat menghidupkan komputer, tiba tiba telepon berdering mencari teman kantor yang lain. Sebuah suara dengan nada keras meluncur di telinga saya karena teman tersebut memang belum datang, tentu saja saya jawab tidak ada

“Dari mana pak?”, Tanya saya.

“Saya Jeki dari bank xxxx”  Sambil menyebutkan nama sebuah bank.

“Mungkin anda sendiri Pak Jempol ya, sudahlah nggak usah ngeles!!”

Kaget saya dengan semburan pertanyaan nada kasar itu yah tentu saja bukanlah. Baru saja saya jawab bahwa saya bukan orang yang dimaksud, langsung ditutup dengan kasar. Saya mengambil kesimpulan bahwa, penelepon juga nggak jauh-jauh dari debt collector.

Dari sini saya melihat bahwa tugas debt collector cukup berat dan merupakan dunia yang keras. Banyak kasus-kasus penarikan barang agunan, disertai dengan intimidasi, kericuhan ataupun demo demo yang terjadi.

Bagaimana dengan pajak? Petugas pajak bisa dibilang penagih pajak, pengumpul pajak. Pajak bahkan tidak ada kaitan manfaat langsung dengan wajib pajak yang telah mengeluarkan uang pajak, hanya melaksanakan amanat Undang-undang Pajak. Kehidupan debt collector atau penagih utang sudah berat padahal penunggak utang sudah menikmati secara langsung tetapi tidak mau membayar.

Amat wajar bila tugas pengumpul/penagih pajak lebih berat, meskipun penggunaan anggaran hasil pengumpulan pajak bukan lagi ranahnya pengumpul. Biasanya tetap dikait kaitkan dengan pengumpulnya, meskipun hasil-hasil pajak secara tidak langsung telah terlihat. Tetapi langkah-langkah penagihan pajak dibolehkan oleh Undang- Undang Pajak, apabila panjenengan tidak setuju, bisa menyuruh wakil rakyat panjenengan di DPR untuk mengubahnya.

Sebenarnya, apabila dibantu dengan pelaporan pajak yang sudah benar, tentu tidak ada lagi prosedur-prosedur yang memaksa bak seorang debt collector. Seperti juga debt collector umumnya yang saya ceritakan diawal, bila pembayarannya lancar, tentu saja tidak ada aksi-aksi tersebut.

Bapak ibu wajib pajak dan calon wajib pajak, manfaatkanlah Undang-Undang Tax Amnesty yang telah di syahkan.

ps : debt collector juga bisa disebut penagih utang

 

 

This entry was posted in OPINI. Bookmark the permalink.

2 Responses to Elegi Sang Penagih Utang

  1. galihsatria says:

    *siap siap narik duit 2T di bank di Swiss*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *