Sebuah link berita nemplok di timeline facebook saya,
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/15/079780020/menteri-anies-yang-gak-mau-berubah-minggir-dari-barisan
yang isinya kurang lebih boleh saya kutip sebagai berikut: berisi memo kemarahan Bapak Menteri Pendidikan kita, Anies Baswedan yang mendapati kenyataan bahwa ada seorang guru sudah jauh-jauh dari Magelang ke Jakarta untuk mengurus kenaikan pangkatnya, berujung kegagalan karena ketiadaan pejabat yang mengurusi bagian itu.
Jika panjenengan ingin membaca memonya Pak Menteri Anies : http://indonesiana.tempo.co/read/78132/2016/06/14/info.indonesiana/memo-menteri-anies-kepada-anak-buahnya
Kenapa link berita tersebut sangat menyita perhatian saya, karena link berita tersebut langsung mengingatkan saya akan kisah perjuangan bapak dan ibuk saya hingga pensiun. Bapak dan ibuk saya sejak awal karir hingga pensiun adalah seorang guru pelosok desa di Kabupaten Tulungagung. Pengalaman paling panjang tentu saja dihabiskannya bersama era Orde Baru.
Pada saat muncul idiom “Piye kabare, isih enak jamanku to?” yang disertai gambar mantan Presiden Soeharto sedang menyunggingkan senyum khasnya, iseng saya tanyakan kepada bapak sebagai pelaku hidup jaman Orde Baru, kira-kira apa memang benar masih enak jamannya Mbah Harto.
Diluar dugaan, bapak menjawab tegas, “Yo jelas penak saiki, jaman orde baru akeh nggak penake.”
Kenapa saya angkat yang ada kaitannya dengan link tersebut, karena bapak dan ibu seorang guru yang bersentuhan langsung dengan birokrasi Orde Baru, seperti ibu guru yang membuat kemarahan Pak Menteri meluap. Disamping sibuk dengan kesibukannya mengajar di sekolah dengan gaji yang kecil, secara rutin mereka juga disibukkan dengan masalah pengurusan kenaikan pangkat.
Kenaikan pangkat dalam periode tertentu secara teratur bukan hal yang mudah. Dengan persyaratan yang amat banyak, belum tentu bisa dengan mudah naik pangkat bila tidak mendekati pejabat bagian kenaikan pangkat mulai tingkat kecamatan sampai kabupaten. Pendekatan yang harus disertai dengan pemberian sesuatu. Saya menjadi saksi betapa setiap malam pada waktu musim kenaikan pangkat, bapak dan ibuk bergelut dengan berkas bermap-map. Kekurangan selembar saja bisa mengakibatkan tertundanya kenaikan pangkat otomatis tertunda juga kenaikan pendapatan yang sebenarnya juga tidak seberapa.
Malah pernah ibuk bercerita bahwa, karena ada ketidak sukaan pejabat di kantor tingkat kecamatan kepadanya, teman-temannya keluar sk kenaikan pangkatnya, SK kenaikan pangkat ibu saya tidak keluar, ternyata usut punya usut, sengaja tidak diajukan oleh oknum di kantor dinas kecamatan tersebut. Hingga munculah kebiasaan bila SK kenaikan pangkat telah turun, syukurannya seakan-akan sama dengan selamatan selama tujuh hari tujuh malam, karena sulit dan rumitnya.
Tidak heran hingga Ibu Guru dari Magelang itu yang menjelang masa pensiunnya dibela-belain sampai berangkat ke Jakarta untuk mengurus sebuah kenaikan pangkat. Sungguh amat disayangkan, budaya orde baru masih tetap terbawa di instansi itu.
Saya membandingkannya di kantor saya sekarang, bila sudah waktunya naik pangkat, bagian kepegawaian kantor tinggal memberitahu saya apa yang berkas yang belum lengkap, kalau sudah lengkap saya tinggal menunggu saja, dua atau tiga bulan biasanya otomatis keluar. Bukan hal yang luar biasa.
Sebagai guru di jaman orde baru, gajinya amat kecil hingga mengilhami Pak Iwan Fals menciptakan sebuah lagu dengan judul Omar Bakri. Dengan gaji kecil dan pengabdian yang penuh, gaji guru masih dipotong dengan berbagai iuran wajib yang bahkan tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan kehidupan guru itu sendiri. misallkan diptong rutin untuk iuran organisasinya, dipotong untuk yang mengaku partai.
Semenjak saya bisa membaca, bacaan saya sehari-hari adalah sebuah harian milik sebuah golongan partai pemenang pemilu, itu termasuk potongan wajib. Padahal baru saya sadari bahwa isi koran tersebut hanyalah propaganda yang tidak berguna. Kemudian apabila pemerintah kecamatan, kabupaten mengadakan event, sumber dana pertama tentu saja dari potongan dari para guru. Potongan berlaku juga bila ada pengadaan seragam yang hampir setiap tahun berganti.
Dengan gaji sekecil itu, dengan berbagai potongannya, tidak heran bila hingga masa pensiunnya, para guru kecil tersebut banyak yang terbelit hutang cukup banyak dengan cara hidup gali lubang dan tutup lubang.
Jaman orde baru, terdapat sebuah hegemoni partai pemenang pemilu berturut-turut. dengan mutlak. Siapa penggeraknya? Para guru dikerahkan untuk mengadakan kampanye dan memberikan pelatihan-pelatihan propaganda ke segenap warga masyarakat waktu itu. Imbalannya buat guru, tidak ada.
Hingga akhirnya timbulah semacam doa dari bapak, supaya anak-anaknya kelak tidak ada yang mengikuti jejaknya menjadi guru. Alhamdulillah doa bapak terkabul, meskipun dengan konsekuensi di hari-hari pensiunnya anaknya tidak bisa menemani karena semua anaknya menjadi perantau.
Maaf Bapak dan Ibu…