Balada sebuah Tangga

Sebagai sebuah kota terbesar di kawasan timur indonesia, Makassar terus berbenah dengan cepat, ini terlihat dari banyaknya crane-crane yang bekerja siang malam membangun gedung-gedung bertingkat. Ada yang buat perkantoran, juga ada yang buat apartemen.

Hari ketiga Puasa Ramadhan tahun 2016, dengan energi sisa-sisa makan sahur tadi pagi dengan segepok berkas saya mendatangi sebuah gedung bertingkat di Kota Makassar. Seorang teman tetap bersiaga di mobil menunggu saya masuk sendirian. Bukan, bukan untuk langsung tancap gas bila saya keluar berlari masuk mobil saat tujuan telah tercapai macam film-film aksi itu. Maksudnya, karena tempat parkir gedung itu sempit sekali, bila ada mobil yang mau keluar, dia bisa segera menggeser mobilnya.

Perlahan saya mendatangi security yang siaga di lobby kantor itu sambil memberitahukan maksud dan tujuan saya mengunjungi dirinya (halah). Harapan saya tentu saja gedung semegah dan setinggi ini yang saya datangi dengan energi sisa-sisa sahur adalah sebuah lift. Pandangan saya menyapu-nyapu seluruh ruangan mencari benda keramat bernama lift tersebut.

Kemudian Pak Security mengantarkan saya menuju lift, eits bagaimanapun saya masih berharap ada benda bernama lift di gedung megah ini. Benar Pak Security mengantarkan saya menuju sebuah lorong yang membuat rasa penasaran saya langsung sirna dan perasaan lemas pun muncul. Tangga. Iya benar Pak Security mengantarkan ke sebuah tangga manual.

“Pak J-to ada di lantai berapa Pak?”  Saya menyebut nama kolega yang akan saya temui, saya ingin kepastian, saya harus menyediakan energi sejumlah berapa untuk mencapai tangga yang dimaksud. Tentu saja saya berharap pula bahwa dia berada di lantai berikutnya sesudah lantai ini.

Entah karena suara saya yang terlalu pelan karena lemes, atau Pak Security sengaja membiarkan saya tetap penasaran. Dengan langkah-langkah tegap dan mantap, saya mengikuti Pak Security yang memandu jalan. Lantai dua telah terlewati, saya berharap ada di lantai tiga, ternyata terlewati dengan nihil. Tidak terasa napas sudah mulai ngos-ngosan, Saya mulai merasa Pak Security ini sengaja menjerumuskan saya ke dalam  penyiksaan yang tidak berujung.

Lantai yang ketujuh, akhirnya kekejaman Pak Security berakhir, dengan senyum yang lebar entah dia senyum mentertawakan kengos-ngosan saya atau senyum yang tulus yang di mata saya amat menjengkelkan, dia berkata  “kita sudah sampai Pak, silahkan”

Saya jadi teringat dengan sebuah Mall di Madiun yang berlantai 3, yang untuk pergi ke lantai dua saja kita bisa mencapainya dengan lift.

Kemudian saya memasuki sebuah ruangan yang dingin dengan disambut senyum ramah penghuninya sambil saya menyebutkan sebuah nama yang pengin saya temui. Hingga munculah sosok ramah yang menjadi tujuan saya.

“Tujuan…heh..saya kesini…heh..adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) Pak” Susah payah saya menyelesaikan kalimat-kalimat itu.

Saya menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saya. Ah, ternyata betapapun saya sembunyikan, nada ngos-ngosan tetap nampak jelas bersama kata-kata yang saya semburkan. Pak J-to menanggapi dengan panjang lebar dan senyum simpul selalu tersungging di sudut bibirnya.

Hingga akhirnya sebuah kata-kata penuh makna terlontar

“Pak, kenapa nggak telpon saja biar saya yang turun” sambil tersenyum penuh arti. Saya amat mengerti bila itu adalah pernyataan maaf beliau karena gedung tingginya tidak punya lift dan bukan menertawakan kengos-ngosan saya (halah).

Sejak kata-kata itu,saya merasa kegagahan dan kebanggan saya  hilang bersama dengan luruhnya energi sahur saya.

foto ilustrasi dari : http://spectrum-paint.com

This entry was posted in NDONGENG. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *