Simbologi Budaya Jawa (2)

DSC_0156
Alun-Alun Madiun

Suatu ketika, akhir bulan ketiga tahun ini, meja peneliti dan helpdesk SPT Tahunan terlihat  lengang, cukup waktu untuk saya menekuri Sony Experia C yang tampangnya sudah amburadul. Saya melirik partner peneliti di ujung meja seberang, juga sedang menatap kosong deretan kursi antrian yang disediakan untuk wajib pajak. Semoga, pikirannya bukan melayang memikirkan target extra effort yang masih jauh panggang dari api. Tidak seperti biasanya bulan-bulan ini yang merupakan waktu memdekati akhir masa pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dimana  kebiasaan orang Indonesia adalah melaporkan di saat-saat akhir.

Ditengah keasyikan saya menekuri HP, tiba tiba saja tanpa saya ketahui dari mana datangnya, muncul di depan saya seorang bapak-bapak berpakaian keki khas uniform pegawai Pemda. Saya sedikit mengerutkan dahi, profil bapak ini agak jauh dari bayangan seorang PNS. Sosoknya bisa dibilang nyentrik dan nyeniman, agak lusuh, dengan kumis dan jenggot panjang nggak beraturan serta memiliki rambut gondrong yang diikat ekor kuda. Wow, jauh dari profil seorang PNS yang untuk potongan rambut saja diatur. Saya kok malah membayangkan seorang penyanyi, Pak Sawung Jabo berpakaian ala pegawai Pemda.

Sang Bapak, yang sebut saja Pak Sawung Jabo KW13, membawa segepok berkas SPT Tahunan sekaligus bercerita tentang kondisi ekonominya, bersamaan waktu mata saya sedang menyapu kolom Harta di SPT Tahunannya.  Kemudian mengalirlah obrolan standar petugas penerima SPT Tahunan dengan wajib pajaknya. Ternyata Pak Sawung Jabo Kw13 nyentrik ini berasal dari sebuah instansi di Kabupaten Madiun yang terletak di Kota Madiun. Nah ribet kan,begitulah sering terjadi kerancuan pengelolaan aset karena di dalam suatu wilayah terdapat dua kantor administratur pemerintahan yang sejajar.

Tanpa saya minta, Pak Sawung Jabo KW 13 ini juga bercerita bahwa kantornya sebentar lagi akan pindah ke kota baru Caruban yang rencananya akan di proyeksikan sebagai ibu kota/pusat pemerintahan Kabupaten Madiun oleh Bupati sekarang. Memang, beberapa kali saya tugas ke Caruban, sedang terjadi pembangunan besar-besaran. Bahkan kantor Pemda nya pun sudah pindah ke kota tersebut. Hanya tinggal kantor Pak Sawung Jabo KW 13 nyentrik ini yang belum pindah.

Pak Sawung Jabo KW 13 ini juga bercerita yang ternyata saya juga baru menyadari bahwa di tiap kabupaten, struktur bangunan atau fasilitas publiknya selalu mengacu pada kraton di Jawa yaitu selalu satu paket pendopo, alun alun dan masjid. Coba saja panjenengan titeni Kraton Solo dan Kraton Jogya, pasti struktur penataan lokasi bangunannya seperti itu. Dan bisa dipastikan bahwa pendopo nya selalu menghadap ke laut selatan. Apakah ada kaitannya dengan mitos penghormatan dengan Ratu Laut Selatan yang sangat erat kaitannya dengan budaya Jawa. Entahlah. Yang jelas, simbologi budaya Jawa yang berkaitan penataan kota.

DSC_0037
Masjid Agung Madiun

Menjadi sebuah pertanyaan adalah, bagaimana dengan pendopo, alun-alun dan masjid nya bila terjadi pemindahan ibu kota Kabupaten.

Tingkat kerumitan yang  mungkin dimiliki oleh wilayah dengan administrasi kota dan kabupaten dalam satu wilayah. Fakta menyebutkan bahwa ternyata masjid, alun alun dan pendopo merupakan milik/dibawah pengelolaan Pemda kabupaten bukan milik kota. Sehingga apabila terjadi pemindahan ibu kota kabupaten, apakah membuat baru tiga pilar simbol tadi. Bagaimana dengan tiga pilar simbol yamg tertinggal, padahal tiga pilar tadi ada sejak wilayah pemerintahan masih berbentuk kerajaan. Kediri, Tulungagung, Madiun, Ponorogo, Trenggalek yang saya tahu bahwa struktur penataan tiga simbol kerajaan tadi ada di wilayah-wilayah tersebut. Apabila panjenengan tahu Kota yang lain, mbok saya dikasih tahu.

Mendapati pertanyaan pertanyaan tadi saya malah makin bengong. Satu hal yang pasti, pertanyaan Pak Sawung Jabo KW13 hanya tinggal pertanyaan karena posisinya bukan pengambil keputusan alias sama gedibalnya dengan saya.

Apabila dilihat dari kaca mata saya yamg buram ini, pemindahan kantor administratif pemerintahan pasti mengeluarkan biaya yang sangat besar dan aset-aset yang ditinggalkan bisa menjadi mangkrak, berakhir rusak bila tidak dikelola secara cermat. Darimana uang untuk memeproleh biaya tadi, tentu saja dari uang pajak bapak ibu sekalian.

Tiba-tiba saya jadi kepingin muter lagu Bento

This entry was posted in ANGEN2. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *