Seringai Wajah Drakula

Sebagai buruh negara, oleh negara yang mempekerjakan, saya diberikan berbagai fasilitas diantaranya adalah asuransi kesehatan untuk saya dan seluruh anggota keluarga. Dahulu bernama asuransi kesehatan (Askes) yang sekarang malih rupo jadi BPJS Kesehatan. Askes ini merupakan asuransi kesehatan yang sudah melegenda sebagai asuransi monopoli buat Pegawai Negeri Sipil semenjak bapak dan ibu saya masih sebagai PNS aktif. Perubahan BPJS kesehatan ini membuat lembaga asuransi ini melayani seluruh warga masyarakat tanpa kecuali.

Bila bersentuhan dengan asuransi, saya memiliki pengalaman yang sedikit ngenes. Medio akhir 2001, saya telah menyelesaikan kuliah yang sangat melelahkan dan menyiksa, menyiksa karena hampir dua pertiga waktu pendidikan saya habiskan dengan kuliah dan menahan rasa sakit. Awal mulanya adalah saya  mendapatkan cedera waktu bermain sepak bola di lapangan kampus. Ingat, dahulu saya adalah seorang deep lying playmaker handal (halah). Cedera yang meskipun terasa sakit tapi saya abaikan hingga ternyata menjadi cedera kronis. Sehingga nggak heran bila sehari sesampainya di rumah setelah kepulangan dinyatakan lulus kuliah, saya terkapar tidak berdaya.

Saya menyusuri lorong-lorong panjang RSUD dr. Soetomo Surabaya dengan merayap. Kenapa merayap karena untuk duduk saja harus menahan sakit apalagi harus berjalan. Diagnosis awal menyebutkan saya harus menjalani perawatan intensif  dengan biaya yang nggak sedikit. Untunglah waktu itu ibu saya membawa kartu Askes punya bapak karena masih dalam tanggungan. Hanya saja kami harus melapor dulu ke bagian askes.

Lorong lorong panjang RSUD Dr. Soetomo harus saya lalui kembali dengan merayap  Hingga sampailah di bagian perwakilan Askes. Mbak Petugas askes menyambut dingin uluran kartu yang diberikan ibu saya dan segera memeriksanya. Sampai akhirnya meluncurlah kata-kata vonis dari mbak petugas tersbut.

Kartu Askes bapak nggak bisa dipakai lagi karena usia saya sudah lewat dari masa tanggungan dan solusi yang diberikan petugas adalah supaya meminta rekomendasi dari atasannya di kantor cabang askes yang terletak di bagian lain rumah sakit ini yang membuat saya harus merayap kembali dua kali lipat jarak tempuhnya. Wajah dingin mbak petugas askes di mata saya berubah menjadi seringaian wajah  drakula penghisap darah yang kejam. Tidak peduli kondisi pasien bagaimanapun, vonis harus dijalankan. Semenjak itulah, hati saya berjanji nggak akan pernah memakai jasa Askes lagi.

Waktu pun berlalu, hingga kemudian proses kelahiran cewek ini, tibalah saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai pasien, karena hak saya  telah dipenuhi. Kewajiban tersebut adalah membayar biaya rumah sakitnya. Pihak rumah sakit menerima jasa askes (BPJS kesehatan kini) tetapi saya nggak peduli dan nggak akan memakai fasilitas tersebut mengingat sumpah janji saya di lorong rumah sakit dr. Soetomo dulu.

Hinggga ibu dan istri saya memaksa agar saya memanfaatkan fasilitas itu dengan alasan premi nya sudah dipotong tiap bulan dari gaji, sayang bila nggak dimanfaatkan. Sumpah dan janji saya beserta kekerasan hati saya luruh bersama kata-kata mereka. Akhirnya saya pun merayap ke pojok BPJS di rumah sakit tersebut.

Kartu BPJS saya serahkan dan setelah di cek, kembali saya mendapati seringaian wajah drakula di wajah mbak petugasnya. Wajah drakula di lorong RSUD dr. Soetomo kembali membayang di benak saya. Saya harus kembali menerima vonis. Kartu BPJS saya nggak bisa dipakai. Saya harus mengurus rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu dokter keluarga (dokter umum) atau puskesmas setempat. Rujukan dari dokter spesialis nggak diterima. Istri saya selama ini di bawah pengawasan dokter spesialis SpOG.

Kerumitan yang saya hadapi adalah kartu BPJS saya terdaftar di Boyolali beserta dokter keluarga juga di Boyolali, untuk mengurus rujukan ke puskesmas setempat saya nggak memiliki KTP Madiun dan Kartu BPJS Madiun  karena hidup nomaden. Mau nggak mau saya harus meluncur ke kantor cabang BPJS setempat untuk meminta fatwa.

Jadi untuk yang kartu BPJSnya bukan terdaftar di domisili, langkah untuk mendapat fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah meminta surat keterangan pelayanan kesehatan sementara dari kantor BPJS setempat yang jangka waktunya hanya satu bulan. Surat tersebut  dibawa ke Puskesmas yang dipilih untuk mendapatkan rujukan.

Kantor BPJS sudah ramai kaya pasar pecah, buruh negara tidak mendapatkan keistimewaan sama sekali, semua sama dimata hukum BPJS. Surat keterangan pelayanan kesehatan sementara saya bawa ke Puskesmas yang ditunjuk untuk mendapatkan rujukan. Saya sampai heran apa fungsinya surat rujukan toh sesampainya di puskesmas saya hanya ditanya kenapa istri harus dirawat.  Rumitnya birokrasi BPJS untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang menjadi hak kita sebagai peserta dengan premi yang otomatis terbayar dari potong gaji, sama sekali nggak mendapat keistimewaan.

Setelah mendapatkan rujukan, saya kembali lagi ke pojok BPJS di rumah sakit untuk mendapatkan keterngan fasilitas kesehatan dari mbak seringai drakula. Ketika sampai di kasir mbak nya kasir rumah sakit hampir mengeluarkan seringaian drakula pula mendapati kenyataan bahwa alamat di kartu BPJS, alamat kartu periksa, alamat KTP, alamat surat keterangan pelayanan kesehatan sementara semuanya berbeda. Puyeng-puyeng dah mbak ngadepin manusia yang hidupnya nomaden. Untunglah mbak kasir bijak sehingga yang keluar adalah wajah putri salju yang teduh.

Selamat menyeringai….

This entry was posted in NDONGENG. Bookmark the permalink.

2 Responses to Seringai Wajah Drakula

  1. galihsatria says:

    BPJS sekarang wajib buat semua WNI, karyawan swasta juga diwajibkan pakai BPJS. Aku terdaftar di Faskes tingkat pertama di RSUD Jagakarsa, aslinya Puskesmas yang barusan diupgrade jadi RSUD hehehe…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *