Kereta api Bangunkarta dari Surabaya tujuan Jakarta perlahan bergerak menyusuri rel meninggalkan Stasiun Gubeng, Surabaya beserta keriuhan dan kemacetannya. Membawa saya dengan tujuan Madiun bersama segepok berkas dan se-ombyok tugas-tugas tambahan hasil dari muhibah bernama perintah perjalanan dinas.
Saya paling suka saat-saat seperti ini, menyandarkan kepala di jendela kereta sambil melihat pemandangan di luar. Melihat suasana sore dengan perasaan lega karena tugas yang telah selesai ditunaikan. Perjalanan pulang ke rumah sambil memandang ke luar dibalik tebalnya kaca gerbong kereta. Sayang apabila saat-saat seperti ini hanya dilewatkan dengan memejamkan mata.
Laju kereta makin menjauhi kota yang hiruk pikuk, dimana sang mentari sore dengan bijaksana meredupkan sinarnya menyisakan cahaya keemasan. Pemandangan di sepanjang rel, anak-anak bermain bersenda gurau bersama teman, tanpa menghiraukan laju ganas si ular besi, seorang bapak dengan berkalung handuk menyesap sisa-sisa batang rokok sambil pandangannya nglangut memandang jauh sebelum beranjak mandi.
Sebuah jalanan kecil nan sepi sejajar dengan rel kereta api sesekali dilewati kendaraan. Anak-anak masih sibuk menggulung benang layang-layangnya. Petani beranjak pulang dari sawah beserta seonggok rumput untuk hewan peliharaan kesayangannya. Wajah-wajah lelah yang menunggu di perlintasan kereta api seperti tidak sabar untuk segera sampai di rumah.
Sinar matahari makin temaram bersama langit yang mulai bersemu jingga, Maghrib pun menjelang terlihat lampu-lampu mulai dinyalakan. Apabila kereta api sempat berhenti entah itu bersilangan dengan kereta lain atau memang waktunya berhenti di sebuah stasiun, dari balik kaca gerbong, saya melihat pancaran kehangatan di rumah-rumah disekitarnya. Bercengkrama sambil berselonjor kaki bersama keluarga di depan sebuah televisi mungil. Disertai camilan mungkin, bersenda gurau melupakan apa yang terjadi hari ini dan tanpa beban menatap hari esok. Waktu serasa mengalir pelan.
Sebenarnya suasana seperti ini dapat dinikmati pula bila kita menaiki mobil atau bus. Hanya saja suasana itu kurang bisa dinikmati karena mobil atau bus biasanya melaju lebih cepat dan tidak konstan serta melewati rute-rute umum yang biasa dilewati orang. Kayaknya bila terjebak macet, apakah masih sempat kita menikmati suasana yang demikian, saya kok nggak yakin, yang ada mungkin gerutuan demi gerutuan. Lain hal dengan kereta api, melalui rute-tute tempat-tempat terpencil, halaman belakang rumah, empang, sawah dan yang paling penting adalah anti macet.
Sensasi menikmati pemandangan perjalanan pulang ini, lebih berarti daripada menikmati pemandangan waktu kita berangkat. Karena perjalanan pulang membawa perasaan kita sesegera mungkin sampai di rumah untuk bertemu dengan wajah-wajah ceria bapak, ibu istri atau pun tawa ceria anak kita. Tidak peduli dengan apa yang terjadi hari ini dan apa yang akan terjadi esok. Sedangkan bila perjalanan berangkat, kita mungkin masih terbebani dengan apa yang akan kita hadapi dan akan terjadi didepan kita.
Oleh karena itu, mari kita pulang….
Bandara Sepinggan Balikpapan juga begitu, karena mayoritas pengguna bandara ini adalah pekerja lapangan yang setengah bulan ga pulang, wajah-wajah ceria dan bergegas nampak jelas buat mereka yang pulang ke rumah. Yang lagi berangkat ke lapangan, ya cemberut, kwkwkwkw…
Kebetulan kita adalah manusia perantauan, akrab dengan hal seperti itu. Istilah kerennya mungkin : “Andol-andolen” haha…