Waktu itu saya sedang dalam perjalanan mudik rutin dua mingguan ketika secara mendadak turun perintah untuk tugas ke kantor pusat pengumpul pajak di Jakarta. Sebagai buruh yang dikon ngalor ya ngalor dikon ngidul ya ngidul, tentu perintah ini nggak bisa ditolak. Karena posisi sudah di kampung, akhirnya saya memilih transportasi menggunakan kereta api untuk mencapai Jakarta. Saya pilih kereta api eksekutif Gajayana karena hanya itu kereta paling nyaman yang melalui kota Tulungagung yang permai ini.
Tiket menunjukkan waktu keberangkatan pukul 15.52 amboi ada angka sakti dua, tiket pesawat saja nggak ada waktu dengan bilangan seperti itu. Saya pun telah siap di stasiun Tulungagung setengah jam sebelumnya. Dimana sebelumnya sempat melakukan print out boarding pass dengan memasukkan kode booking yang saya peroleh waktu beli online via aplikasi di hp android. Stasiun kereta merupakan tempat yang sangat nyaman dan bersih, ruang tunggu bak bandara internasional dengan aroma restoran khas bandara yang bertebaran disitu.
Ini stasiun kota kecil bung.
Check in dilakukan dengan menunjukkan boarding pass yang diprint out sendiri tadi, inilah langkah maju dibanding mode peswat dimana boarding pass masih di print kan front office di bandara meskipun kita sudah melakukan cek in melalui web cek in. Waktu beranjak kurang sepuluh menit dari waktu kedatangan si Gajayana, sudah ada pengumuman bahwa sebentar lagi sehingga para penumpang segera bersiap siap. Saya pun merayap mendekati perkiraan dimana gerbong saya akan berhenti.
Amboy, waktu menunjukkan pukul 15.45 ketika si gajayan secara perlahan memasuki areal stasiun, kami pun segera naik. Setelah menunggu sejenak, pukul 15.50 kereta pun beranjak meninggalkan stasiun tulungagung. Di tiket tercantum keberangkatan 15.52, sangat bisa ditoleransi. Gerbong gajayana merupakan gerbong yang baru, semua perabotan masih bersih dan nyaman. Ketika kereta mendekati stasiun madiun, kota yang penuh kenangan, kali ini ingin benar benar saya nikmati, saya mencoba nggak merem di awal perjalanan. Toh besok kebagian acara di akhir. Biasanya dulu saya langsung ambil selimut, merem.
Menjelang tengah malam, perut terasa keroncongan minta diisi. Pramugari kereta sudah nggak lewat lagi, mau nggak mau saya harus ke gerbong restorasi. Biasanya saya paling malas ke rest0rka karena biasanya hanya tempat untuk merokok dan tempat nongkrong penumpang yang ngga punya tiket, kali ini saya ingin mencoba menikmatinya. Restorka kondisinya berubah menjadi bersih sedangkan yang nggak berubah adalah harga makanannya, dari dulu tetap mahal. (Kereta berhenti sejenak di stasiun kutoarjo) Saya sebenarnya pesan nasi goreng tetapi habis, yang ada tinggal ayam penyet ya sudah itu saja saya pesan, yang penting saya juga bisa nongkrong disini. Pukul 04.30 akhirnya Gajayana merayap perlahan mendekati stasiun gambir, terlambat sekitar 04.03. karena masih gelap dan acara kantor dmulai pukul 15.00 saya memutuskan ke hotel transit di stasiun gambir yang tarifnya per jam. Saya pilih yang 8 jam.
Kemudian, dalam tiga minggu kemudian ini merupakan perjalanan kereta saya yang kedua ke Jakarta, kali ini baliknya dari stasiun Gambir. Perjalanan ke Jakarta ini merupakan perjalanan keluarga. Untuk menghadiri resepsi Om, adiknya ibuk yang menikahkan anaknya sekalian sama njagong bayinya Kinan. Maaf Kinan, pakde baru bisa njagong meskipun kau sudah hadir kedunia selama dua bulan. Pakdemu memang kacau…:-D
Mama, Kaka dan karin serta dua Mbah nya dengan kereta Gajayana juga, sudah tiba di Jakarta hari Kamis sedangkan saya dengan pesawat dari Makassar Jumat malam. Nantinya kami pulang ramai-ramai dengan Gajayana juga ke Tulungagung. Saya? saya ngambil cuti, pengin kabur sejenak dari wp Makasaar yang cuek-cuek. Hahah, mana ada wp yang diaudit pajaknya terus antusias. Geblek.
Ketika semua sudah selesai, saatnya say good bye Kota Jakarta yang macet dan krodit, saya paling stress sama macet, meski Makassar juga macet. Bweh nggak sedikitpun terlintas dipindah tugas kesini. Dua Kali disuruh ngisi form pilihan 5 kota buat tujuan mutasi, nggak ada sekalipun saya milih Jakarta. Meski dua kali pilihan saya itu nggak ada yang tembus. Paling jauh saya milih Lombok, nggak apa-apa jauh asal masih bisa nglanscape.
Kembali ke perjalanan kereta, beda dengan travelling sendiri yang tinggal bawa badan sendiri yang penting bisa ngglosor. Sekarang dengan peserta sekompi plus barang bawaan se-pickup. Untungnya jasa portir di stasiun amat sangat membantu. Nggak ada cerita khawatir barang hilang atau ongkosnya di palak. Semua aman dan nyaman.
Waktu kami memasuki gerbong, jadwal keberangkatan masih lama. Saya ajak Kaka keluar jalan-jalan di sekitar kereta. Dia sudah menahbiskan diri jadi railfans, makanya jauh-jauh hari perjalanan ini sudah masuk di bucket list nya. Sudah jadi impian katanya. Biasanya dia cuma melihat-lihat gambar lokomotif di internet. Sampai hapal kode-kode dan jenis jenis lokomotif serta buatan mana. Kali ini dia saya ajak dia mendekatinya. Cowok kelas tiga MI itu sangat excited bisa melihat dari dekat. Kemudian saya ajak lebih mendekati dan menyentuh si lokomotif. Apa lacur, dia nggak mau. Saya tarik tangannya juga tetep nggak mau. Gimana sih, katanya selalu jadi impiannya. Akhirnya saya paksa tarik tangannya dia meskipun harus teriak menolak seperti orang kesurupan. Sukses akhirnya dia berhasil menyentuh membelai si lokomotif dari dekat. Dia seperti saya, kalau impiannya selama ini menjadi nyata sikap excited nya diwujudkan dengan tingkah laku blingsatan, kikuk takut campur aduk jadi satu. Persis waktu saya pertama kali ketemu mama nya dulu.
Di gerbong, formasi duduknya diatur Mama dan Karin, Saya dan Kaka kursinya diatur berhadap hadapan. Dua mbahnya di kursi seberang sudah berasyik masyuk sendiri. Waktu kereta berjalan, Mama dan Karin juga ikutan berasyik masyuk sendiri. Udah kayak di rumah saja. Tinggal saya dan Kaka, dimana dia nyerocos melihat stasiun-stasiun yang dilewati yang selama ini hanya bisa diihat melalui internet. Tiba-tiba saja dia nyeletuk,
“Yah, yuk ke gerbong restorka”
“Ngapain?” tanya saya heran
“Aku pengin lihat” Ahaa ini pasti termasuk salah satu bucket listnya.
“Okay, ntar habis jam sembilan malam sekalian kita makan”
Mengingat restorka sekarang nyaman, saya pun mengiyakan ajakannya. Dia pun menurut sambil matanya selalu ke arah jendela sambil melihat Kota Jakarta yang mulai menjauh dalam temaram suasana senja. Kereta terus beranjak cepat, tiap berhenti di stasiun dan kereta berhenti agak lama, dia saya ajak turun jalan-jalan ke sekitar stasiun. Contohnya waktu kereta berhenti di stasiun Cirebon.
Benar ketika jam sembilan dia sudah mengingatkan untuk ke restorka. Saya lihat Mama dan Karin masih meringkuk di kursi, mau dibangunin kasihan, mau ikutan pesan makanan nggak. Ya sudah akhirnya saya dan Kaka saja yang merayap ke restorka yang letaknya sesudah gerbong enam. Sehingga agak lama jalan sepanjang lorong gerbong. Sepanjang jalan matanya menyapu-nyapu suasana sekitar. Banyak juga bocah-bocah kecil yang lari-larian sepanjang lorong.
Sesampai di restorka kami disambut ramah mbak pramugari kereta sambil menawarkan berbagai makanan yang ready stock. Kaka milih nasi goreng ayam, saya ayam penyet (lagi). Sambil menunggu kami duduk di kursi yang di sediakan restorka. Tanpa suara tapi mata nya tak lepas menyapu nyapu sekitar. Saya tahu, matanya membandingkan dari apan yang diperoleh di internet.
Setelah membayar, Kaka pengin makan di kursi tempat duduk kami. Kembali kami merayap menelusuri gerbong. Suasana masih tetap sama, banyak anak kecil berlarian dan ada seorang bapak membuat tenda di kursinya biar bayinya bisa tidur nggak kena silau lampu gerbong.
Sesampainya di kursi, ternyata si Mama sedang buatin susu botol buat Karin yang bangun. Nah, beneran dia tertarik makanan yang kita bawa. Ya sudah akhrinya kita makan ramai-ramai. Hahah sudah macam di rumah saja.
Menjelang tengah malam, Gerbong eks 1, Kereta Api Gajayana Gambir – Tulungagung.