Pantai Sanggar, Tulungagung menggugah rasa penasaran saya sebagai fotografer anyaran. Kalau memyebutkan pantai di wilayah kabupaten Tulungagung yang merupakan kampung tanah kelahiran saya, yang terkenal hanyalah Pantai Popoh satu paket dengan Pantai Nelayan Sidem yang juga terdapat PLTA Neyama, karena memang sudah dikelola secara serius oleh Pemkab Tulungagung, apalagi jaman jaya-jayanya Pabrik Rokok Retjo Pentung yang sekarang hanya tinggal sejarah. Salah satu jejak-jejak kejayaannya bisa ditemukan di Padepokan Reco Sewu.
Waktu saya search Mas Google pantai yang lain, ternyata Pantai Sanggar cukup populer dikalangan pecinta traveling. Dan sebagai fotografer anyaran (halah), saya tergugah untuk mencari tempat-tempat baru.
Akhirnya libur wiken kemarin saya memutuskan untuk mengunjungi keberadaan Pantai yang katanya keindahannya dapat disejajarkan dengan Pantai Dreamland di Pulau Bali. Info yang dapat dari referensi blog, Pantai Sanggar berada di Desa Jengglungharjo Kecamatan Tanggunggunung. Dari perkampungan terdekat, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Sebagai tambahan referensi, saya menggali informasi dari Bapak dan Ibu yang memang orang Asli Tulungagung tentang keberadaan Pantai itu atau seenggak-enggaknya letak Desa Jengglungharjo.
“Bapak pirso (tahu) Pantai Sanggar di Desa Jengglungharjo Kec. Tanggunggunung?” Tanya saya.
“Kenapa, pengin foto-foto neng kana (disana)?” Bapak langsung tahu kebiasaan saya.
“Wuaah disana cuman alas gledhekan, jalannya cuman jalan setapak, waktu kamu masih kecil, Bapak tau mrono”
Saya agak ngeri, karena tentu kondisinya tidak jauh berbeda sekarang.
Ternyata kata-kata lanjutan Bapak membuat saya menarik kesimpulan bahwa saya telah salah dengar, bukan saya yang masih kecil waktu Bapak kesana, tapi Bapaklah yang masih kecil.
“Biyen pas aku masih kecil, aku sama bojone Yu Minah (salah satu kakaknya), nuntun sapi dari Jengglungharjo”
Tentu saja argumen terakhir ini saya tertawakan.
“Lah, itu kan sudah lebih dari 60 th yang lalu, masa jaman sudah seperti ini nggak ada perubahan sama sekali”
Nah argumen Bapak juga dipatahkan sama Ibuk saya “Iya, kemarin pas aku ke Tannggunggunung , jalannya sudah aspalan”
Karena kalah argumen, Bapak cuman ketawa-ketawa. “Yo wis, sing ngati-ngati”
Akhirnya saya ngajak istri meluncur ke Jengglungharjo bersama Honda Supra X dan Nikon D3200, mengingat masih buta medan perang, tripod saya tinggal. Jalurnya dari SMAN Campur Darat I di desa Ngentrong ambil kiri melewati Telaga Mburet langsung tembak Kecamatan Tanggunggunung. Kooramil lurus, pokoknya ikutin jalan aspalan. Sebelum SMP Tanggunggunung ada pertigaan ambil yang ke kanan. Kelihatannya lancar, tapi kami sampai harus bertanya sekitar 5 kali.
Nah disitulah jalan mulai rusak, berlubang disana sini kemudian kita harus melahap tanjakan beserta aspal berlubang besar. Honda Supra X tahun 2010 punya Ibuk saya pun beberapa kali menjerit. Beberapa kali istri saya harus turun karena si Supra X kehabisan tenaga buat nanjak. Ternyata hutan belantara yang dikisahkan Bapak sekarang berubah menjadi hamparan jagung yang amat panas. Manusia memang benar-benar serakah.
Akhirnya setelah melalui sebuah jembatan reyot, kami memasuki Desa Wisata Jengglungharjo tempat trio pantai yaitu Pantai Sanggar, Pantai Ngalur, Pantai Pathuk Wetan.
Berdasarkan petunjuk arah ke pantai itu, Jalan masuknya berupa lorong diantara perumahan penduduk dan hanya bisa dilewati satu sepeda motor. Nanti disitu akan ada portal sederhana yang kita disuruh membayar seikhlasnya. Apakah kita sudah sampai? Belum
Dari situ perjalanan dilanjutkan dengan sepeda motor yang akan disuguhi sebuah jalan yang benar-benar setapak, bedanya adalah sudah di plengseng semen. Mayoritas trek nya adalah tanjakan curam dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Belum cukup, disamping kirinya adalah jurang yang menganga cukup dalam. Lebih aman sebenarnya adalah berjalan kaki dengan sepeda motor dititipkan di rumah penduduk dekat portal masuk tadi. Tapi harus dengan fisik yang prima karena akan ada tanjakan-tanjakan kurang lebih sejauh 5 km, berdasarkan info penjaga portal tadi. Berkali-kali istri saya harus turun karena ban supra x sudah nge-drift nge-drift nggak karuan.
Sampai akhirnya tiba disebuah kedai kopi yang disitu banyak motor diparkir dan juga pertanda bahwa jalan setapak plengsengan semen sudah berakhir. Kami memutuskan untuk memarkirkan motor dan berjalan kaki karena jalanan makin berbahaya, apalagi pada waktu musim hujan, jalan amat licin.
Bayangan saya trek makin mudah karena makin dekat ternyata salah, kami masih harus melahap tanjakan-tanjakan lagi, mengingat matahari sudah tinggi dan sore nya kami harus balik ke Madiun, maka kami memutuskan untuk kembali meskipun kata penjaga kedai kopi, nanggung karena Pantai Sanggar sudah dekat.
Pada saat kami pulang, kami berpapasan dengan rombongan wisatawan dengan sepeda motor yang cukup banyak. Pertanda bahwa keberadaan Pantai Sanggar dan sekitarnya sudah terkenal walau belum dikelola secara serius.
Akhirnya saya mempunyai pemikiran, betapapun indahnya Pantai Sanggar dan mungkin pantai yang lain, hanya Pantai Popoh yang akan menjadi andalan Pemkab Tulungagung karena kemudahan aksesnya.
Judule pantai tapi ga ada foto pantai kw kw kw kw… #penontonkecewa
lah, kan udah dijelaskan terang benderang di judul : “Gagal”
ha ha ha
susah sekali ya untuk sampai kesana seperti hendak ke ujung dunia
betul, bener2 butuh fisik prima