Hari itu, angin sejuk cenderung dingin yang menyembur dari Air Conditioner di sebuah ruang meeting tidak mampu menghilangkan raut-raut wajah penuh perhatian dan ketegangan dari para peserta rapat. Semua mata penuh perhatian mendengarkan petuah dan petunjuk serta motivasi dari pimpinan rapat, bapak Plh. Kakanwil yang datang berkunjung. Sesekali terlontar pertanyaan yang harus dijawab dengan tuntas oleh kami, para peserta rapat.
Benar rapat monitoring dan evaluating atau lebih keren dengan akronim monev sedang berlangsung. Apabila menurut beliau pencapaian pengumpulan pajak belum sesuai dengan target yang ditentukan, menyemburlah kata-kata tajam dan dingin. Salah satu yang paling saya ingat adalah : “Kalian ini karena sudah terlalu lama berada di zona nyaman. Kalian perlu tantangan dan terobosan-terobosan baru”
Zona Nyaman menurut pemahaman saya, semua orang mungkin pernah berada dalam situasi ini, situasi dimana kita sudah cukup akan segala hal. Semua terpenuhi dengan sewajarnya, sudah tidak ada tantangan lagi yang ingin ditaklukkan. Semua kehidupan mengalir pelan, apa adanya dan seakan akan bisa kita prediksi akan bergerak kemana. Ada naluri penolakan bila menghadapi sesuatu yang baru. Zona Nyaman menurut saya bukan datang sendiri, tetapi diciptakan oleh kita sendiri.
Itulah yang saya rasakan selama lebih dari empat tahun bekerja dan tinggal di Kota Madiun. Kota Madiun merupakan kota dengan tipe kota yang bergerak pelan, tidak ada langkah-langkah tergesa, tidak ada kemacetan, cocok untuk tinggal menghabiskan masa pensiun di hari tua.
Ada guyonan di tempat saya bekerja, sebagai buruh di kantor pengumpul pajak negeri ini. Ada dua hal di dunia ini yang pasti, yaitu mati dan mutasi. Mutasi merupakan hal yang pasti dan tidak pasti. Pasti terjadi tetapi kapan waktunya tidak pasti. Ruwetnya menjadi obrolan sehari-hari misalnya dengan melontarkan prediksi dan keinginan-keinginan masing-masing. Apalagi yang masa kerjanya di suatu kantor, sudah melewati angka empat tahun. Semenjak saya tiba di kantor ini,bisa dihitung dengan jari satu tangan pegawaia yang masih berada di kantor ini dan tidak mendapat mutasi. Itupun karena sudah menjelang masa pensiun.
Hingga kemudian di suatu Subuh, hari Selasa di bulan Maret itu. HP saya sudah bersaut sautan menandakan group WA yang saya ikuti sedang ramai-ramainya. Hal yang agak ganjil masih pagi-pagi buta begini sudah ramai di group yang menandakan ada suatu peristiwa besar. Benar saja, kabar mutasi telah beredar di seantero Ditjen Pajak. Dengan berdebar-debar, saya scroll percakapan tersebut, ternyata saya termasuk yang terangkut gerbong mutasi. Gerbong mutasi membawa saya mendapati sebuah tempat baru dan lingkungan baru sebagai buruh negara. Kota Makassar, jauh dari keinginan saya untuk mendekati homebase saya di Tulungagung.
Saya harus keluar dari zona nyaman dan harus menciptakan zona nyaman berikutnya di tempat yang baru. Kota Makassar merupakan kota terbesar di kawasan Indonesia timur, sehingga otomatis beban kerja menjadi bertambah banyak, dengan kasus-kasus pemeriksaan pajak yang semakin komplek dan ruwet jauh bila dibandingkan dengan sebelumnya di Madiun.
Keluar dari zona nyaman berarti harus berpisah sementara dengan keluarga kecil saya, apalagi si bungsu sedang lucu-lucunya. Melihat pola mutasi teman-teman yang lain, dimana teman-teman yang jauh dari homebase kebanyakan belum di homebase kan lagi, saya dan istri akhirnya harus mengatur strategi menyesuaikan diri dengan pola mutasi yang ada, termasuk berpikir dengan pendidikan anak-anak.
Awal mula membina pernikahan dulu, istri saya memutuskan tidak bekerja supaya bisa mengikuti kemana saya beserta angin mutasi bertiup, anggaplah travelling bersama. Ternyata setelah berada di zona nyaman, keinginan itu sulit dilaksanakan. Biarlah mereka tetap di zona nyaman, saya saja yang keluar dari zona nyaman itu. Untungnya masih bisa melakukan rutinitas bersepeda dengan Mas-nya tiap wiken, meskipun kadang dua minggu sekali.
Apapun kondisinya, apapun keadaannya mari kita selalu tetap mrengez dan sumringah, tetap Alhamdulillah. Menangis darah tiga hari tiga malam, koprol sepanjang jalan Loceret sampai dengan Warujayeng, toh SK Mutasi itu tidak bakalan berubah. Zona Nyaman harus diciptakan, makanya untuk menciptakan zona nyaman di tempat yang baru, saya semakin menggeluti belajar fotografi dengan cara mendatangi tempat-tempat eksotis di tanah Sulawesi.
Akhirnya saya bergabung dengan mereka yang telah menjalani kehidupan seperti ini semenjak lama. Buktinya bila hari jumat tiba menjelang wiken, Bandara Juanda itu dipenuhi oleh sosok-sosok berbatik yang dari tindak tanduknya saya hafal itu dari instansi Kementerian Keuangan. Bahkan pernah saya bertemu dengan kawan sekelas waktu kuliah yang semenjak lulus belum pernah bertemu sama sekali. Kita dipertemukan di sebuah lorong Bandara Juanda, saya mau berangkat ke Makassar, teman ini baru mendarat dari Jayapura, Papua.
Pak Supervisor saya di Madiun, selama 18 Tahun merupakan pelaku model begini dan baru kali ini bisa berkantor di homebase-nya. Waktu saya awal berkantor di Makassar, saya mendengar kabar bahwa beliau telah mutasi ke Kab. Bantul. Hanya satu periode saja beliau di homebase kan. Entahlah, kapan giliran saya di homebase-kan.
Ingatan saya kembali ke pertengahan rapat hari itu, ketika Pak Plh. Kakanwil menukas dengan kata-kata lugas : DJP itu tidak punya Homebase !
Roblox HackBigo Live Beans HackYUGIOH DUEL LINKS HACKPokemon Duel HackRoblox HackPixel Gun 3d HackGrowtopia HackClash Royale Hackmy cafe recipes stories hackMobile Legends HackMobile Strike Hack