Bila ingin menikmati sejenak sifat asli anak manusia, merayaplah ke jalan raya (quote by denbei.info 2016 -halah-)
Prolog diatas cocok untuk menggambarkan betapa jalanan sudah menjadi tontonan keganasan, egoisme dan hukum rimba buas di jaman modern ini. Beberapa waktu tinggal dan mencari sesuap nasi di Kota Makassar yang panas, juga kadang menampakkan wajah yang sinis, saya sedikit banyak bisa memahami banyak hal unik selain bahasa dan kulinernya tentu saja. Sedikit contoh yang saya alami setiap hari adalah kondisi lalu lintasnya. Seperti kota besar lainnya, macet adalah ciri khas utama dari sebuah kota besar.
Tetapi terdapat kekhususan dari kondisi lalu lintas di kota ini. Saya mengalami setiap hari, lalu lintasnya sangat semrawut dan krodit. Apalagi di jam-jam sibuk dan pulang kantor. Saling serobot saling potong jalur sudah amat biasa disini. Seakan, menyerobot jalur merupakan sebagian dari iman. Bila panjenengan mau belok ke kanan tentu panjenengan harus berada di jalur kanan. Tetapi harap diingat banyak kejadian pas kita mau belok posisi kita dipotong secara tiba-tiba oleh pengendara yang mau belok ke kiri, lah dia malah berada di jalur kanan juga.
Kemudian tidak ada antrian misalkan mau putar balik semuanya berjajar nggak mau mengalah. Sedikit kritikan dan keheranan saya, sebuah jalan protokol yang sangat sibuk, diberikan banyak titik untuk putar balik kendaraan. Dari hasil pergulatan saya setiap hari di jalanan kota ini membuat saya punya tips kursus mengemudi mobil yang manjur. Bila panjenengan sedang belajar nyetir dan ingin langsung mahir, terjunlah uji nyali nyetir panjenengan di kota ini. Saya jamin selepas dari sini, panjenengan langsung mahir bisa nyopir truk tronton roda tiga belas.
Siang yang amat panas, saya berada di pertigaan SPBU Jalan Urip Sumoharjo, salah satu jalan protokol yang super sibuk. SPBU ini juga berfungsi sebagai putar balik di pertigaan bertemunya Jalan Urip dengan Jalan Masjid Raya. Bagi yang mau putar balik ke jalan Urip di SPBU ini, melalui sedikit jalan masjid raya kemudian menyilang bertemu lagi Jalan Urip selanjutnya berbelok ke Jalan Pong Tiku. Panjenengan puyeng mbayanginnya, saya juga puyeng mbayangin dan ngetiknya.
Waktu itu posisi saya di jalan Urip hendak lurus ke Jalan Bawakaraeng. Di pertigaan ini harus ekstra waspada dengan pengendara dari kanan dari jalan Masjid Raya serta yang hendak putar balik belok ke SPBU. Tiba-tiba di tengah-tengah kroditnya pertigaan, mobil di depan saya nge-rem mendadak, refleks saya pun nginjak dan menarik kuat-kuat tuas rem Supra Vit butut nan bandel saya. Apa yang terjadi, tiba-tiba saja body Supra Vit butut nan bandel ini bergoyang keras karena kena sodok dengan keras sesama pemotor dari belakang. Spontan saya menggeram kesal. Ketika lalu lintas berangsur angsur normal, saya ingin melihat siapa pelakunya dan ingin menunjukkan wajah kesal saya. Perasaan saya terlalu halus untuk mengumpat (halah).
Tiba-tiba tersangka pelaku ini menyalip di sisi kiri saya. Reaksi saya tentu kaget dan bersiap untuk menampakkan muka sebal nan jumawa. Pengendara motor, berboncengan dua orang lelaki. Apa yang terjadi, melihat saya menampakkan wajah kesal, mereka justru mengangkat jempol sambil tersenyum lebar bersahabat. Tanpa terucap kata-kata pun,saya tahu bahwa itu adalah permintaan maaf mereka. Spontan aura kesal pun hilang dari wajah saya diganti dengan senyum lebar serta ikutan mengangkat jempol tinggi-tinggi.
Kemudian pada kejadian hari sebelumnya, Supra Vit butut nan bandel ini ingin menambah angin di bannya. Sepertinya dia sudah menjerit menyangga berat badan saya yang sedikit melar ini. Saya pun menuju pengisian angin dan tambal ban yang bertebaran di jalan AP Pettarani. Seorang bapak dengan anak lelakinya yang langsung mengingatkan pada jagoan saya nun jauh di tanah Jawa, sedang menunggu kios tambal ban yang mengambil bagian trotoar sebagai tempatnya.
Bapak inipun segera memenuhi permintaan saya untuk mengisi dua buah ban si Supra vit butut nan bandel. Setelah itu saya bertanya ongkosnya berapa. Bapak itu pun menjawab sebuah angka ribuan. Ketika saya sodori angka lima ribuan sambil berkata:
“Ya udah pak kembalinya biarin saja” Apa yang terjadi, bapak itu spontan mencium lima ribuan yang saya sodorkan sambil tersenyum lebar serta mengucapkan bahasa lokal Makassar yang saya tidak mengerti. Tetapi saya tahu itu sebuah rasa pengungkapan terima kasih yang tulus darinya.
Ah sebuah orkestrasi kesejukan di teriknya jalanan Kota Makassar.
foto dari jpnn.com
Kupikir itu Jakarta, ternyata Makassar sama aja to hehehe…
kayanya meski lebih kecil, makasar lebih krodit..wkwkwk
Pingback: Kepingan dan Jejak Perjalanan » denbei.info