Sebagai penggemar sepakbola, saya merupakan fans klub sepak bola Manchester United, awalnya adalah gara-gara melihat tayangan Liga Inggris awal tahun sembilan puluhan di layar SCTV, melihat seorang pemuda berambut ikal dengan poni menjuntai berkibar-kibar berlari kencang menyisir sisi kiri lapangan dengan bola diikuti bek lawan yang terpontang panting berusaha mengimbangi larinya. Pemain itu namanya Ryan Giggs.
Website analisis pertandingan sepak bola, panditfootball.com menyajikan sebuah tulisan menarik yang membuat memory otak melayang nun jauh puluhan tahun yang lalu. Judul artikelnya adalah Tiang Gawang Puing-Puing. Sepak Bola memang sudah mendarah daging sebagai permainan berbagai kalangan masyarakat. Padahal, dahulu tidak didukung dengan maraknya siaran sepakbola di layar kaca seperti sekarang, siaran yang tersedia hanyalah siaran dari TVRI.
Saya menjadi teringat saat-saat menggilai permainan sepak bola ala anak-anak. Permainan jujur tanpa tendensi apapun, penuh sportifitas meskipun kadang diselingi sedikit duel kecil, ketegangan, intrik di lapangan yang seketika hilang begitu permainan bubar karena pemilik bola dipanggil emaknya disuruh pulang.
Permainan tanpa wasit, aturan dengan kesepakatan. Misalnya bola melewati diatas tangan kiper yang mengangkat, tidak gol meskipun kiper lawan pendek. Istilah-istilah aneh pun bermunculan misalnya sebutan “heng dua belas” untuk tendangan penalti (jarak 12 m), “kornel” untuk tendangan pojok. Sekali lagi, pernyataan pelanggaran berdasarkan teriakan dan kesepakatan. Garis lapangan dibentuk imajiner sesuai kesepakatan. Tiang gawang bisa berupa tumpukan batu bata atau gedebog pisang. Jarak tendangan penalti diukur berdasarkan kesepakatan. Kiper biasanya dipilih dari teman yang tidak jago gocek. Saya paling suka berposisi sebagai playmaker atau istilahnya midfielder pembagi bola, istilah modernnya mungkin deep lying playmaker. Kalau jaman sekarang mungkin posisi seperti Andrea Pirlo atau Xabi Alonso.
Pertandingan dianggap selesai bila adzan Magrib berkumandang ataupun pemilik pekarangan sudah mengusir kami semua pulang. Pernah, karena kegilaan saya dengan sepakbola, dengkul saya tiap pulang ke rumah sore harinya selalu babras bersimbah darah. Hasilnya, tanpa banyak kompromi bola hasil nabung uang jajan saya berhari-hari berhasil dibelah jadi dua sama bapak supaya berhenti main sepakbola.
Sepulang sekolah selepas makan siang tujuan utama adalah bermain sepakbola, teriakan ibu yang menyuruh tidur siang tidak dihiraukan. Karena kegandrungan dengan permainan itu, saya sampai beberapa kali memohon kepada ibu agar dimasukkan ke Sekolah Sepakbola dengan tujuan agar kemampuan olah bola saya makin jago dan bisa bertanding minimal tingkat kecamatan resmi di acara tujuh belasan, atau siapa tahu juga dilirik klub – klub profesional. Yang paling penting tujuannya adalah mempunyai kemampuan paling jago diantara teman-teman maupun lawan. Tetapi seperti biasanya, ibu saya hanya mengiyakan tapi tak pernah merealisasikan keinginan saya itu. Melihat kondisi sepakbola Indonesia sekarang rasanya saya bersyukur dengan keputusan ibu yang tidak memenuhi keinginan saya menjadi pemain sepakbola.
Masa karir keemasan saya adalah bertanding menempuh dengan sepeda beramai-ramai menantang para atlet sepakbola desa sebelah. Tindakan yang gagah berani mengingat desa yang kami datangi memiliki fasilitas lapangan sepakbola yang mumpuni sedangkan desa kami tidak memiliki lapangan sepakbola yang memadai. Kami biasa berlatih di lapangan voli punya ibu-ibu PKK atau pekarangan orang yang agak luas.
Away day!
Suatu ketika, klub tidak resmi kami mendapat tantangan berlaga dari tetangga desa di Minggu pagi yang cerah itu. Tantangan yang tidak boleh kami abaikan karena menyangkut harga diri desa kami (halah). Setelah berhasil mengumpulkan para pemain, meskipun kebanyakan harus membatalkan acara menyabit rumput buat kambingnya, atau masih menunggu teman yang disuruh ibunya beli bumbu dapur, kami semua beramai-ramai dengan konvoi sepeda menuju lapangan tempat yang telah disepakati dengan penantang.
Sesampainya di lapangan, sebagai playmaker merangkap Kapten, saya mengatur posisi-posisi berdasarkan kesepakatan dan usulan para pemain. Klub sepakbola yang sangat demokratis. Tiba-tiba saja, dari kejauhan datang dengan sepeda seorang yang sudah pasti saya kenal, adik saya ini. Padahal saya sudah berjuang untuk nilapke supaya dia tidak ikut nglurug main sepakbola, karena sepakbola itu keras. Nah, dia datang tidak mungkin untuk menonton pasti pengin main juga dan tidak bisa ditolak. Sebagai Kapten, tentu punya hak prerogatif menentukan posisi paling tepat. Posisi paling tepat untuk pemain dengan postur lebih besar dari pemain sebayanya (bahkan dengan kakaknya sendiri), adalah seorang Bek Tengah. Instruksi yang diberikan cukup simpel, ” Bola bolehlah lewat tapi manusia jangan sampai lewat”
Saya melihat dari jauh instruksi cukup sukses meskipun kebanyakan yang dihadang adalah pemain dan bukan bolanya, menghadang dengan cara adu badan dengan hasil lawannya jatuh bergulingan. Nggak masalah, toh nggak ada wasit ini….:-)
Selamat bermain sepakbola……
Photo taken from : http://blog.galihsatria.com/2011/02/20/serius/
wah ajdi pengen maen bola hehe….
Segerakan mas…:-D